Rabu, 30 September 2009

I Can (not) Hear on Kick Andy!




Siapapun tentu akan terenyuh ketika mendapati buah hatinya terlahir dengan suatu kekurangan. Namun, hal itu bukan berarti membuat kita patah semangat dan mengabaikannya.

Hal inilah yang dialami oleh San C Wirakusuma, seorang ibu yang memiliki anak tuna rungu. Namun San-san, sapaan akrab San C Wirakusuma, tidak patah semangat dan terus berusaha mencarikan jalan terbaik bagi sang anak, Gwen, hingga ia akhirnya mampu mendengar meskipun tak sesempurna anak dengan pendengaran normal.

Penasaran dengan kisah mengharukan dan penuh perjuangan dalam buku I Can (Not) Hear ini? Saksikan kisah ini dalam program Kick Andy pada hari Jumat, 2 Oktober 2009, pukul 21.30 - 23.00 WIB. Saksikan tayang ulang Minggu 5 Oktober pk 13.30 - 15.00 WIB

Read More......

Senin, 07 September 2009

The Story Behind I Can (Not) Hear (2) – By Feby Indirani

Akan tetapi, saya beruntung mendapat dukungan sepenuhnya dari pihak Gagasmedia. Pemimpin Redaksi Gagasmedia sekaligus teman baik saya, Windy Ariestanty memberikan banyak arahan sekaligus berbagi pengalamannya ketika ia mengerjakan buku Tiara Lestari : Uncut Stories. Belum lagi buku-buku referensi yang ia kirimkan untuk saya baca. “Biar semangat ngerjainnya,” begitu sms Windy ketika saya mengucapkan terimakasih untuk buku-buku itu.

Di atas semua itu, saya pun diberikan kemewahan waktu untuk menyelesaikan naskah.

Saya lebih beruntung lagi karena Sansan sangat kooperatif dalam kerjasama ini. Selain terbuka, Sansan juga memberikan kepercayaan penuh kepada saya. Perlahan keraguan saya akan kemampuan saya menangani projek ini pun sirna.
Kami berdua mulai semakin intensif mengerjakan naskah. Proses transformasi pengalaman dari Sansan kepada saya ternyata membutuhkan waktu yang cukup panjang.

Suatu ketika saya terpikir suatu mekanisme. Saya meminta Sansan menulis semacam diary atau jurnal dengan pengarahan tertentu dari saya. Sebelumnya saya memberikan kerangka deskripsi apa saja yang dibutuhkan dari sebuah suasana, tempat, orang-orang yang ditemui, berikut perasaan apa saja yang Sansan alami saat itu. Saya meminta semua itu dilakukan tanpa merisaukan masalah bahasa, Sansan bisa menggunakan kata apapun yang terlintas di pikirannya.

Sansan setuju untuk mencoba cara itu. Menariknya, ketika menulis jurnal Sansan bisa menyampaikan hal-hal yang selama ini belum terungkap atau terlewatkan dalam wawancara atau proses ngobrol-ngobrol kami. Cerita yang saya dulang pun menjadi semakin kaya. Karena melihat metode tersebut efektif, kami mulai menerapkannya untuk pola kerja kami selanjutnya.

Dengan pengayaan itu, saya lebih mudah menentukan alur cerita. Dari beberapa hal yang diceritakan oleh Sansan, saya memilih bagian-bagian tertentu untuk saya perdalam dan pertajam lagi. Saya akan menanyakan segala detil yang terkait dengan bagian itu untuk menuliskannya dengan lebih utuh. Kerap saya bisa mengajukan begitu banyak pertanyaan untuk hanya mendapatkan satu paragraf atau beberapa kalimat saja. (Untungnya Mbak Sansan selalu sabar menjawab dengan kebawelan saya).

Kerap juga cerita yang Sansan tulis tidak saya masukkan ke dalam naskah karena beberapa pertimbangan. Bagaimanapun itu menjadi masukan yang sangat penting untuk memperkaya wawasan dan batin saya dalam pengerjaan naskah. Tak jarang pula dari membaca jurnal itu terbetik ide saya untuk menggali cerita yang lain yang belum Sansan sampaikan.

Untuk beberapa bagian, Sansan pun menulis dengan baik sekali sehingga saya tergoda untuk mengusulkannya mempertimbangkan karir menjadi penulis setelah ini :).

Secara keseluruhan proses pengerjaan naskah memang lebih lama daripada yang saya dan Sansan perkirakan sebelumnya. Kadang kami menghabiskan waktu yang panjang untuk menemukan kata yang tepat saat hendak mendeskripsikan tes-tes pendengaran yang dijalani Gwen agar pembaca mendapatkan gambaran yang cukup termasuk di dalamnya alat-alat dan istilah-istilah teknis yang harus dijelaskan. Sisanya adalah menemukan irisan waktu yang tepat untuk pertemuan kami di antara kesibukan kami masing-masing.

Cristian Simamora, salah satu editor favorit dan juga kawan baik saya juga memberikan masukan yang sangat berharga. Cerita yang kami tulis pun menjadi lebih bervariasi dan segar berkat saran-saran ahlinya. Saya tidak bisa lebih berterimakasih lagi kepada semua nama yang telah saya sebut yang bekerja bersama saya hingga naskah ini rampung, beserta persahabatan yang terjalin seiring prosesnya.

Tapi, saya belum menceritakan satu orang lagi yang membuat semua proses ini menjadi semakin menyenangkan!

to be continued

Read More......

Minggu, 06 September 2009

The Story Behind ‘I Can (not) Hear’ (1) by Feby Indirani

Sejujurnya sebelum memulai naskah ini, isu tuna rungu adalah sesuatu yang luput dari perhatian saya.

Dan itu membuat saya tersadar betapa abainya saya. Apalagi ketika mengetahui bahwa diperkirakan sedikitnya 5000 anak dilahirkan tuna rungu setiap tahunnya di Indonesia (belum ada data resmi tentang ini). Sementara informasi tentang penanganan dan pendidikan bagi anak tuna rungu masih sangat terbatas. Banyak orang mungkin seperti saya, hanya tahu sedikit tentang Sekolah Luar Biasa (SLB) atau bahasa isyarat yang menggunakan tangan.

Saya pun memulai projek ini dengan antusias, dengan semangat orang awam yang haus pengetahuan. Dan sebelumnya aaya perlu memahami persoalan seluas dan sedalam yang saya bisa.

Maka mulailah sesi-sesi wawancara saya dengan Sansan dan John sebagai nara sumber utama. Saya bertanya, bertanya, dan bertanya. (ini tidak terlalu sulit karena saya wartawan dan bertanya bisa diibaratkan satu-satunya gigi taring yang saya punya).
Setelah 2-3 bulan saya sudah menyerap informasi cukup banyak tentang kehidupan Sansan, John dan Gwen serta seputar dunia tuna rungu. Pihak penerbit kemudian meminta saya menyerahkan draf awal.

Tapi, ada satu masalah.Sejak awal saya diminta untuk menulis dengan sudut pandang orang pertama yang mewakili Sansan. Saya ingat sempat menawar. Bolehkah saya menceritakan semua itu dengan sudut pandang orang ketiga?

Dalam tugas jurnalistik, saya terbiasa berdiri sebagai pengamat dan menuturkan segala sesuatunya kepada pembaca. Bisa dibilang amat jarang saya menuliskan reportase yang memungkinkan saya menjadi sedemikian subjektif dengan menggunakan sudut pandang orang pertama.

Tapi ini adalah memoar, bukan laporan jurnalistik. Peran saya di sini bukan memberitahu kepada pembaca apa yang terjadi, melainkan menjadi media bagi Sansan menyuarakan kisah perjuangannya membesarkan Gwen yang menjadi topik utama buku ini.

Awalnya saya sempat merasa tidak nyaman karena belum pernah menulis dengan cara seperti itu. Saya harus menulis dengan sudut pandang orang pertama, seolah saya adalah Sansan. Padahal saya adalah orang yang sebelumnya sama sekali asing dari kehidupannya, John dan Gwen.

Ada semacam kecemasan, bagaimana kalau saya mencederai pengalaman-pengalaman dan perasaan-perasaan Sansan yang paling pribadi dengan salah menuliskannya?
Bagaimana jika saya salah memaknai kepedihannya sehingga mengungkapkan dengan cara yang tak sepantasnya? Bagaimana jika cara saya membahasakan kepahitannya keliru merepresentasikan keadaan yang sesungguhnya?

to be continued

Read More......

Rabu, 02 September 2009

Yang Menyentuh dari I Can (Not) Hear Part IV

Seperti bisa membaca kekecewaan yang terpancar dari wajah saya, Dennis dengan cepat menambahkan, “Tapi Anda tidak perlu khawatir dulu, tes ABR yang tadi dilakukan hanya tes pendengaran di frekuensi 2000–4000.”
Dahi saya mengernyit. Lagi-lagi, saya tak terlalu paham apa yang dikatakannya.
“Siapa tahu saat Gwen melakukan tes SSEP justru akan menunjukkan sisa pendengaran di frekuensi rendah 250–1000 dan frekuensi tinggi 4000–8000. Kalau ini kasusnya, artinya bayi Anda masih memiliki sisa pendengaran untuk belajar mendengar dan berbicara,” kata Dennis panjang lebar.

Jadi, dengan tes entah apa-tadi-itu kemungkinan anak saya bisa mendengar bisa terdeteksi? Dan dia masih bisa belajar mendengar dan berbicara?


Dennis menjelaskan, “Jika Gwen selesai mengonsumsi antibiotik untuk infeksi telinga tengahnya masih ada kemungkinan gangguan telinganya tidak seberat sekarang.” Mendengar penjelasan terakhirnya saya jadi lebih tenang. Ada secercah harapan bahwa mungkin pendengaran Gwen tidak seberat hasil tes hari ini.

Kami meninggalkan rumah sakit lewat pukul 18.00. Dalam perjalanan pulang, Mama sibuk bertanya-tanya, “Kenapa ya Gwen tidak bisa mendengar? Apa yang salah ya?”
Saya diam saja, tidak tahu harus menanggapi apa.

“Apa hasilnya salah ya? Rumah sakitnya saja tua begitu bangunannya, bisa jadi memang tesnya tidak benar ya....” Mama kembali mengoceh dalam kebingungannya. Saya mengangguk-angguk saja karena saya benar-benar tidak tahu apa yang harus dikatakan. Saya hanya berpikir, bisa jadi pendengaran Gwen tak kunjung membaik karena antibiotiknya memang belum habis diminum.
Karena saya tak merespon, Mama tak mengajak saya bicara lagi, tapi mulutnya tetap berkomat-kamit. Begitulah kebiasaannya jika sedang berpikir keras. Sementara Gwen tertidur di pangkuan saya selama perjalanan.

SRENG... sreng... sreng..
Suara sodet beradu dengan penggorengan yang berasal dari dapur terdengar sangat bising. Begitulah jika Mama memasak, gesit sekaligus sangat berisik. Aroma sambal yang sedang digoreng itu pun begitu menyengat hidung. Saya yang sedang membaca buku di ruang tamu sambil menemani Gwen bergegas bangkit untuk menutup pintu pembatas antara dapur dengan ruang makan untuk mengurangi bau dan kebisingannya.
Tok... tok...tok....

Ketika akan menutup pintu saya melihat Mama sedang mengetuk-ngetukkan sodet ke penggorengan agar sisa sambal yang melekat di permukaannya bisa terlepas. Keras juga ya suaranya, pikir saya. Tiba-tiba terlintas di kepala saya untuk mencobakan bunyi yang sama kepada Gwen. Siapa tahu dia bisa mendengar.

Saya pun kembali ke dapur dan mengambil piring yang terbuat dari keramik dan sendok stainless steel. Lalu saya pergi ke ruang tamu, menghampiri Gwen di keretanya. Dari belakangnya saya mulai mengetuk-ngetukkan sendok ke piring. Pertama-tama di sisi samping piringnya.
Ting...ting... ting....
Gwen tak menoleh.
Lalu, saya ganti mengetuk sisi atas piring. Tik... tik... tik....
Ia masih tak menoleh.
Saya mulai mengetuk-ngetuk bagian tengah piring. Tok... tok... tok....
Tetap tak menoleh.
Suara piring itu kurang keras kali ya, pikir saya. Saya pun kembali ke dapur dan mengambil panci stainless steel. Masih dengan sendok yang tadi, lalu saya mengetuk-ngetukkannya ke bagian pantat panci.
Tok... tok... tok....
Ia tetap tak merespon. Sepertinya suara panci juga tak cukup keras. Saya pun terpikir mengambil penggorengan dan sodetnya lantas kembali masuk dapur. Mama melihat kepada saya dengan heran.
“Kenapa sih bolak-balik? Ganggu saja...,” tanya Mama.
“Nggak, saya mau tes pendengaran si Gwen,” kata saya sambil mengelap sudut mata yang berair karena sambal buatan Mama. Saya membawa penggorengan tadi ke ruang tamu. Saya pun mengetuk-ngetukkan penggorengan besi itu dengan sodet.
Tok... tok... tok....
Tok... tok... tok....
Saya merasa bunyi yang saya hasilkan sudah memekakkan telinga, tapi Gwen tetap tak menunjukkan reaksi terganggu atau apalah. Mama datang dari arah dapur dan langsung berkomentar, “Ah kamu kurang kencang membunyikannya,” kata Mama. Dia kemudian mengambil alih penggorengan itu dan menyuruh saya pindah ke depan Gwen agar dapat mengawasi ekspresinya. Ketika saya memperhatikan Gwen ternyata ia sudah terkantuk-kantuk di dalam keretanya.
Mama pun mulai memukul penggorengan itu.
TOK... TOK... TOK....
Ternyata, Mama bisa memukul dengan benar-benar keras, jauh lebih keras dari suara yang tadi saya hasilkan. Tapi ketika saya memperhatikan Gwen tak ada perubahan sedikit pun pada raut mukanya. Dia tetap saja terkantuk-kantuk dengan damai.
“Kok dia nggak dengar ya?" Mama terdengar agak panik. “Kan sudah minum antibiotik? Kok gak ada perubahan ya?
“Yah, belum habis kali, Ma...,” kata saya sambil mengambil penggorengan dan sodet dari tangan Mama dan mengembalikannya ke dapur. Dalam hati saya risau juga karena Gwen tampak sama sekali tak mendengar. Tapi saya kembali menghibur diri bahwa Gwen akan membaik setelah selesai minum antibiotiknya.
Di lain waktu, saya kerap berteriak kencang-kencang tepat di telinga Gwen.
“Weiii!”
Tetap saja, tak ada respon apa pun dari Gwen. Saya mengulanginya lagi beberapa kali, tak ada yang berubah. Yang ada Mama yang memarahi saya.
“Anak kok diteriak-teriakin begitu! Yang ada dia bisa tuli betulan,” protes Mama.
Sementara Mama masih sibuk menelpon ke sana kemari untuk menanyakan pengobatan dan dokter yang ahli masalah pendengaran, ke om saya yang dokter umum di Hong Kong, istri sepupunya yang mantan perawat juga ke temannya seorang ahli akupuntur yang berada di China. Semua saran itu kami dengarkan dan pertimbangkan. Tapi akhirnya kami putuskan untuk menunggu sampai antibiotiknya habis.

To be continued...

Read More......

I Can (not) Hear! by Feby Indirani

Menjadi seorang ibu adalah pengalaman terpenting dalam kehidupan seorang perempuan.

Betapa indahnya saat si buah hati menangis, tertawa, hingga saat mulut mungilnya mulai belajar memanggil ‘Mama’. Setiap hari yang melelahkan untuk seorang ibu pun terbayar dengan kejutan-kejutan yang menyenangkan. Menyaksikan si anak bertumbuh dengan indah, mempelajari ‘ketrampilan’ dan ‘kemampuan’ barunya, belajar melafalkan suara dan kata yang awalnya sulit dipahami adalah hadiah yang tak ternilai. Lalu perbendaharaan katanya bertambah dari hari ke hari bahkan kerap tanpa disadari. Dan waktu akan berjalan begitu cepat hingga suatu hari sang buah hati mulai menggumamkan lagu yang biasa ibunya nyanyikan untuk meninabobokkannya.

Begitu juga yang dibayangkan San C. Wirakusuma (Sansan) saat melahirkan Gwendolyne (Gwen) putri pertamanya. Namun langit di atas kepalanya seperti runtuh ketika ternyata Gwen dideteksi mengalami gangguan pendengaran berat untuk kedua telinganya. Ibaratnya bila berada di samping pesawat pun, Gwen tak akan bisa mendengar sama sekali.

Tak mudah bagi Sansan dan John, suaminya menerima kenyataan pahit itu. Mereka melakukan segala macam upaya untuk ‘mengobati’ gangguan pendengaran Gwen, berharap turun keajaiban sehingga putri mereka bisa mendengar dengan normal. Sampai pada satu titik, mereka memutuskan untuk bangkit, menghadapi kenyataan dan menciptakan sendiri ‘keajaiban' itu.

Ini adalah kisah yang inspiratif tentang perjalanan seorang ibu membesarkan putrinya yang tuna rungu hingga bisa mendengar dan berbicara seperti orang normal. Awalnya untuk mengajarkan satu kata saja seperti ‘mommy' saja kepada Gwen, Sansan bisa mengulanginya sampai jutaan kali. Setelah itu pun masih cukup panjang proses belajar yang harus dilakukan hingga Gwen akhirnya bisa melafalkan ‘mommy’ dengan sempurna.

Cerita selengkapnya silakan ditemukan di buku ini yang akan terbit segera di bulan September 2009 :)

Read More......