Seperti bisa membaca kekecewaan yang terpancar dari wajah saya, Dennis dengan cepat menambahkan, “Tapi Anda tidak perlu khawatir dulu, tes ABR yang tadi dilakukan hanya tes pendengaran di frekuensi 2000–4000.”
Dahi saya mengernyit. Lagi-lagi, saya tak terlalu paham apa yang dikatakannya.
“Siapa tahu saat Gwen melakukan tes SSEP justru akan menunjukkan sisa pendengaran di frekuensi rendah 250–1000 dan frekuensi tinggi 4000–8000. Kalau ini kasusnya, artinya bayi Anda masih memiliki sisa pendengaran untuk belajar mendengar dan berbicara,” kata Dennis panjang lebar.
Jadi, dengan tes entah apa-tadi-itu kemungkinan anak saya bisa mendengar bisa terdeteksi? Dan dia masih bisa belajar mendengar dan berbicara?
Dennis menjelaskan, “Jika Gwen selesai mengonsumsi antibiotik untuk infeksi telinga tengahnya masih ada kemungkinan gangguan telinganya tidak seberat sekarang.” Mendengar penjelasan terakhirnya saya jadi lebih tenang. Ada secercah harapan bahwa mungkin pendengaran Gwen tidak seberat hasil tes hari ini.
Kami meninggalkan rumah sakit lewat pukul 18.00. Dalam perjalanan pulang, Mama sibuk bertanya-tanya, “Kenapa ya Gwen tidak bisa mendengar? Apa yang salah ya?”
Saya diam saja, tidak tahu harus menanggapi apa.
“Apa hasilnya salah ya? Rumah sakitnya saja tua begitu bangunannya, bisa jadi memang tesnya tidak benar ya....” Mama kembali mengoceh dalam kebingungannya. Saya mengangguk-angguk saja karena saya benar-benar tidak tahu apa yang harus dikatakan. Saya hanya berpikir, bisa jadi pendengaran Gwen tak kunjung membaik karena antibiotiknya memang belum habis diminum.
Karena saya tak merespon, Mama tak mengajak saya bicara lagi, tapi mulutnya tetap berkomat-kamit. Begitulah kebiasaannya jika sedang berpikir keras. Sementara Gwen tertidur di pangkuan saya selama perjalanan.
SRENG... sreng... sreng..
Suara sodet beradu dengan penggorengan yang berasal dari dapur terdengar sangat bising. Begitulah jika Mama memasak, gesit sekaligus sangat berisik. Aroma sambal yang sedang digoreng itu pun begitu menyengat hidung. Saya yang sedang membaca buku di ruang tamu sambil menemani Gwen bergegas bangkit untuk menutup pintu pembatas antara dapur dengan ruang makan untuk mengurangi bau dan kebisingannya.
Tok... tok...tok....
Ketika akan menutup pintu saya melihat Mama sedang mengetuk-ngetukkan sodet ke penggorengan agar sisa sambal yang melekat di permukaannya bisa terlepas. Keras juga ya suaranya, pikir saya. Tiba-tiba terlintas di kepala saya untuk mencobakan bunyi yang sama kepada Gwen. Siapa tahu dia bisa mendengar.
Saya pun kembali ke dapur dan mengambil piring yang terbuat dari keramik dan sendok stainless steel. Lalu saya pergi ke ruang tamu, menghampiri Gwen di keretanya. Dari belakangnya saya mulai mengetuk-ngetukkan sendok ke piring. Pertama-tama di sisi samping piringnya.
Ting...ting... ting....
Gwen tak menoleh.
Lalu, saya ganti mengetuk sisi atas piring. Tik... tik... tik....
Ia masih tak menoleh.
Saya mulai mengetuk-ngetuk bagian tengah piring. Tok... tok... tok....
Tetap tak menoleh.
Suara piring itu kurang keras kali ya, pikir saya. Saya pun kembali ke dapur dan mengambil panci stainless steel. Masih dengan sendok yang tadi, lalu saya mengetuk-ngetukkannya ke bagian pantat panci.
Tok... tok... tok....
Ia tetap tak merespon. Sepertinya suara panci juga tak cukup keras. Saya pun terpikir mengambil penggorengan dan sodetnya lantas kembali masuk dapur. Mama melihat kepada saya dengan heran.
“Kenapa sih bolak-balik? Ganggu saja...,” tanya Mama.
“Nggak, saya mau tes pendengaran si Gwen,” kata saya sambil mengelap sudut mata yang berair karena sambal buatan Mama. Saya membawa penggorengan tadi ke ruang tamu. Saya pun mengetuk-ngetukkan penggorengan besi itu dengan sodet.
Tok... tok... tok....
Tok... tok... tok....
Saya merasa bunyi yang saya hasilkan sudah memekakkan telinga, tapi Gwen tetap tak menunjukkan reaksi terganggu atau apalah. Mama datang dari arah dapur dan langsung berkomentar, “Ah kamu kurang kencang membunyikannya,” kata Mama. Dia kemudian mengambil alih penggorengan itu dan menyuruh saya pindah ke depan Gwen agar dapat mengawasi ekspresinya. Ketika saya memperhatikan Gwen ternyata ia sudah terkantuk-kantuk di dalam keretanya.
Mama pun mulai memukul penggorengan itu.
TOK... TOK... TOK....
Ternyata, Mama bisa memukul dengan benar-benar keras, jauh lebih keras dari suara yang tadi saya hasilkan. Tapi ketika saya memperhatikan Gwen tak ada perubahan sedikit pun pada raut mukanya. Dia tetap saja terkantuk-kantuk dengan damai.
“Kok dia nggak dengar ya?" Mama terdengar agak panik. “Kan sudah minum antibiotik? Kok gak ada perubahan ya?
“Yah, belum habis kali, Ma...,” kata saya sambil mengambil penggorengan dan sodet dari tangan Mama dan mengembalikannya ke dapur. Dalam hati saya risau juga karena Gwen tampak sama sekali tak mendengar. Tapi saya kembali menghibur diri bahwa Gwen akan membaik setelah selesai minum antibiotiknya.
Di lain waktu, saya kerap berteriak kencang-kencang tepat di telinga Gwen.
“Weiii!”
Tetap saja, tak ada respon apa pun dari Gwen. Saya mengulanginya lagi beberapa kali, tak ada yang berubah. Yang ada Mama yang memarahi saya.
“Anak kok diteriak-teriakin begitu! Yang ada dia bisa tuli betulan,” protes Mama.
Sementara Mama masih sibuk menelpon ke sana kemari untuk menanyakan pengobatan dan dokter yang ahli masalah pendengaran, ke om saya yang dokter umum di Hong Kong, istri sepupunya yang mantan perawat juga ke temannya seorang ahli akupuntur yang berada di China. Semua saran itu kami dengarkan dan pertimbangkan. Tapi akhirnya kami putuskan untuk menunggu sampai antibiotiknya habis.
To be continued...
Read More......