Sejujurnya sebelum memulai naskah ini, isu tuna rungu adalah sesuatu yang luput dari perhatian saya.
Dan itu membuat saya tersadar betapa abainya saya. Apalagi ketika mengetahui bahwa diperkirakan sedikitnya 5000 anak dilahirkan tuna rungu setiap tahunnya di Indonesia (belum ada data resmi tentang ini). Sementara informasi tentang penanganan dan pendidikan bagi anak tuna rungu masih sangat terbatas. Banyak orang mungkin seperti saya, hanya tahu sedikit tentang Sekolah Luar Biasa (SLB) atau bahasa isyarat yang menggunakan tangan.
Saya pun memulai projek ini dengan antusias, dengan semangat orang awam yang haus pengetahuan. Dan sebelumnya aaya perlu memahami persoalan seluas dan sedalam yang saya bisa.
Maka mulailah sesi-sesi wawancara saya dengan Sansan dan John sebagai nara sumber utama. Saya bertanya, bertanya, dan bertanya. (ini tidak terlalu sulit karena saya wartawan dan bertanya bisa diibaratkan satu-satunya gigi taring yang saya punya).
Setelah 2-3 bulan saya sudah menyerap informasi cukup banyak tentang kehidupan Sansan, John dan Gwen serta seputar dunia tuna rungu. Pihak penerbit kemudian meminta saya menyerahkan draf awal.
Tapi, ada satu masalah.Sejak awal saya diminta untuk menulis dengan sudut pandang orang pertama yang mewakili Sansan. Saya ingat sempat menawar. Bolehkah saya menceritakan semua itu dengan sudut pandang orang ketiga?
Dalam tugas jurnalistik, saya terbiasa berdiri sebagai pengamat dan menuturkan segala sesuatunya kepada pembaca. Bisa dibilang amat jarang saya menuliskan reportase yang memungkinkan saya menjadi sedemikian subjektif dengan menggunakan sudut pandang orang pertama.
Tapi ini adalah memoar, bukan laporan jurnalistik. Peran saya di sini bukan memberitahu kepada pembaca apa yang terjadi, melainkan menjadi media bagi Sansan menyuarakan kisah perjuangannya membesarkan Gwen yang menjadi topik utama buku ini.
Awalnya saya sempat merasa tidak nyaman karena belum pernah menulis dengan cara seperti itu. Saya harus menulis dengan sudut pandang orang pertama, seolah saya adalah Sansan. Padahal saya adalah orang yang sebelumnya sama sekali asing dari kehidupannya, John dan Gwen.
Ada semacam kecemasan, bagaimana kalau saya mencederai pengalaman-pengalaman dan perasaan-perasaan Sansan yang paling pribadi dengan salah menuliskannya?
Bagaimana jika saya salah memaknai kepedihannya sehingga mengungkapkan dengan cara yang tak sepantasnya? Bagaimana jika cara saya membahasakan kepahitannya keliru merepresentasikan keadaan yang sesungguhnya?
to be continued
Minggu, 06 September 2009
The Story Behind ‘I Can (not) Hear’ (1) by Feby Indirani
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar