Senin, 07 September 2009

The Story Behind I Can (Not) Hear (2) – By Feby Indirani

Akan tetapi, saya beruntung mendapat dukungan sepenuhnya dari pihak Gagasmedia. Pemimpin Redaksi Gagasmedia sekaligus teman baik saya, Windy Ariestanty memberikan banyak arahan sekaligus berbagi pengalamannya ketika ia mengerjakan buku Tiara Lestari : Uncut Stories. Belum lagi buku-buku referensi yang ia kirimkan untuk saya baca. “Biar semangat ngerjainnya,” begitu sms Windy ketika saya mengucapkan terimakasih untuk buku-buku itu.

Di atas semua itu, saya pun diberikan kemewahan waktu untuk menyelesaikan naskah.

Saya lebih beruntung lagi karena Sansan sangat kooperatif dalam kerjasama ini. Selain terbuka, Sansan juga memberikan kepercayaan penuh kepada saya. Perlahan keraguan saya akan kemampuan saya menangani projek ini pun sirna.
Kami berdua mulai semakin intensif mengerjakan naskah. Proses transformasi pengalaman dari Sansan kepada saya ternyata membutuhkan waktu yang cukup panjang.

Suatu ketika saya terpikir suatu mekanisme. Saya meminta Sansan menulis semacam diary atau jurnal dengan pengarahan tertentu dari saya. Sebelumnya saya memberikan kerangka deskripsi apa saja yang dibutuhkan dari sebuah suasana, tempat, orang-orang yang ditemui, berikut perasaan apa saja yang Sansan alami saat itu. Saya meminta semua itu dilakukan tanpa merisaukan masalah bahasa, Sansan bisa menggunakan kata apapun yang terlintas di pikirannya.

Sansan setuju untuk mencoba cara itu. Menariknya, ketika menulis jurnal Sansan bisa menyampaikan hal-hal yang selama ini belum terungkap atau terlewatkan dalam wawancara atau proses ngobrol-ngobrol kami. Cerita yang saya dulang pun menjadi semakin kaya. Karena melihat metode tersebut efektif, kami mulai menerapkannya untuk pola kerja kami selanjutnya.

Dengan pengayaan itu, saya lebih mudah menentukan alur cerita. Dari beberapa hal yang diceritakan oleh Sansan, saya memilih bagian-bagian tertentu untuk saya perdalam dan pertajam lagi. Saya akan menanyakan segala detil yang terkait dengan bagian itu untuk menuliskannya dengan lebih utuh. Kerap saya bisa mengajukan begitu banyak pertanyaan untuk hanya mendapatkan satu paragraf atau beberapa kalimat saja. (Untungnya Mbak Sansan selalu sabar menjawab dengan kebawelan saya).

Kerap juga cerita yang Sansan tulis tidak saya masukkan ke dalam naskah karena beberapa pertimbangan. Bagaimanapun itu menjadi masukan yang sangat penting untuk memperkaya wawasan dan batin saya dalam pengerjaan naskah. Tak jarang pula dari membaca jurnal itu terbetik ide saya untuk menggali cerita yang lain yang belum Sansan sampaikan.

Untuk beberapa bagian, Sansan pun menulis dengan baik sekali sehingga saya tergoda untuk mengusulkannya mempertimbangkan karir menjadi penulis setelah ini :).

Secara keseluruhan proses pengerjaan naskah memang lebih lama daripada yang saya dan Sansan perkirakan sebelumnya. Kadang kami menghabiskan waktu yang panjang untuk menemukan kata yang tepat saat hendak mendeskripsikan tes-tes pendengaran yang dijalani Gwen agar pembaca mendapatkan gambaran yang cukup termasuk di dalamnya alat-alat dan istilah-istilah teknis yang harus dijelaskan. Sisanya adalah menemukan irisan waktu yang tepat untuk pertemuan kami di antara kesibukan kami masing-masing.

Cristian Simamora, salah satu editor favorit dan juga kawan baik saya juga memberikan masukan yang sangat berharga. Cerita yang kami tulis pun menjadi lebih bervariasi dan segar berkat saran-saran ahlinya. Saya tidak bisa lebih berterimakasih lagi kepada semua nama yang telah saya sebut yang bekerja bersama saya hingga naskah ini rampung, beserta persahabatan yang terjalin seiring prosesnya.

Tapi, saya belum menceritakan satu orang lagi yang membuat semua proses ini menjadi semakin menyenangkan!

to be continued

Tidak ada komentar:

Posting Komentar