Selasa, 25 Agustus 2009

Yang Menyentuh dari I Can (Not) Hear Part II

Beberapa menit sebelum pukul 2, pintu dibuka. Seorang lelaki bertubuh tinggi dengan jubah putih muncul.

“Gwendolyne Muljono!” panggilnya.
Saya dan Mama berdiri. Usia pria berbaju putih itu masih muda, sekitar akhir 30-an. Kulitnya coklat dan matanya tidak sipit. Ia memperkenalkan dirinya sebagai Dennis Au, audiologist yang akan melakukan tes pendengaran untuk Gwen.
“Asal Anda dari mana?” ujarnya beramah tamah.
“Indonesia,” sahut saya singkat.
“Oya? Bapak saya asal Surabaya lho, baru tahun 1950-an pindah ke China,” Dennis bercerita dengan ramah.
Saya hanya mengangguk-angguk saja menanggapi ceritanya. Oh, pantas saja matanya tidak sipit, pikir saya. Dennis kemudian mengantar kami ke ruangan lain. Ia menjelaskan bahwa kami sedang menuju gedung baru untuk THT.
“Ruang tunggu tadi itu gedung lama, makanya kondisinya memang seperti itu. Akan segera dilakukan renovasi juga....”

Suara Denis terdengar seperti gaung yang mengambang di sekeliling saya. Perasaan saya saat itu sangat tegang dan saya serasa berada di dunia saya sendiri. Setibanya kami di gedung baru bagian THT, kami dipersilakan menunggu sementara Denis masuk ke dalam kantornya. Lampu-lampu di ruang tunggu di sini banyak sehingga ruangan tampak terang. Kain yang melapisi kursinya terlihat bersih dan baru dengan busa jok yang masih tebal. Tak lama kemudian, Dennis keluar dari ruangan dengan membawa secangkir air di tangan kirinya dan sirup di kontainer kecil di tangan kanannya. Sirup itu ternyata adalah obat tidur.

“Selama menjalani tes ABR, anak harus berada dalam keadaan tidur. Tujuannya, supaya mendapatkan respon otak yang benar-benar berasal dari rangsangan yang didapat oleh telinga dan bukan indera lainnya,” ujar Dennis.
Sesaat saya dan Mama saling berpandangan. Minum obat tidur? Jangankan obat, memberinya makanan dan susu saja selama ini selalu susah. Setiap menyadari sesuatu didekatkan ke mulutnya, Gwen meresponsnya dengan menangis.
“Oke, Mama yang pegang Gwen ya,” kata saya.

Mama memangku Gwen dengan satu tangan menahan kepalanya dan tangan yang lain memegangi kedua tangannya. Sementara saya menekan kedua pipinya agar mulutnya membentuk huruf ‘O’ sambil berusaha memasukkan obat.

Gwen melawan dan tangisannya semakin keras. Saya menahan kakinya yang masih menendang-nendang. Tapi perlawanannya pun semakin menjadi. Akhirnya, ia muntah. Sisa susu dan bubur sarapan pagi keluar tak hanya dari mulut, tapi juga dari hidung. Semua bajunya basah terkena muntah. Mama membersihkan bekas muntahnya dan saya mengganti pakaiannya.

Tadinya, saya berharap ada obat yang sempat masuk ke mulutnya. Tapi sampai 15 menit kemudian ternyata Gwen tak kunjung tertidur. Artinya, obat tadi memang sudah dimuntahkan seluruhnya. Saya dan Mama sempat saling berpandangan. Perjuangan untuk membuatnya menelan obat harus dimulai dari awal lagi.

Untungnya pada kali kedua tak sesulit kali pertama tadi. Sepertinya Gwen sudah kehabisan tenaga juga untuk melawan. Berhasil. Dia tertidur hanya dalam waktu 10 menit. Saya menggendong Gwen masuk melalui pintu berwarna merah jambu.

To be continued...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar