Mendengar(kan)
Tentang mendengarkan, apakah yang sebenarnya kita ketahui?
Suatu siang saya menerima sebuah e-mail yang berisi permohonan review sebuah buku, pengirimnya teman saya, Windy Ariestanty, pemimpin redaksi Gagas Media. “Buku ini berjudul I Can (not) Hear,” tulisnya di e-mail itu, “sebuah memoar yang ditulis oleh seorang ibu bersama seorang penulis Gagas Media tentang perjalanan membesarkan anaknya yang tunarungu menuju dunia mendengar.” Tanpa berpikir panjang, saya langsung menyetujuinya. Pasalnya sederhana, ada sebuah frase yang tiba-tiba menarik saya tak sabar untuk segera membaca buku itu: dunia-mendengar. Seperti apakah dunia-mendengar bagi seorang anak tunarungu? Ini tentu kisah yang menarik.
Selang satu hari sejak saya menyetujuinya, saya mendapatkan draft naskahnya. Saya langsung men-download dan membacanya lembar demi lembar. Dan, benar saja dugaan saya, ini kisah yang menarik! Sejak halaman awal saya sudah disuguhi fragmen menarik tentang seorang gadis tunarungu, Gwendolyne namanya, yang kesal karena ibunya tetap memacu kendaraannya dengan kecepatan tinggi meski ia beberapa kali mengingatkannya agat tidak ngebut. “Mom, kan aku sudah bilang jalan pelan-pelan! Are you deaf?” Katanya kesal.
Are you deaf? Apa kau tuli? Bayangkanlah celaan itu dilontarkan oleh seorang gadis tuna rungu pada kita. Barangkali kita hanya akan tertawa geli mendengarnya. Namun ada yang luput dari pemahaman kita selama ini, bahwa “mendengar” ternyata tak sama dengan “menangkap suara” dengan organ telinga. Sama seperti bahwa “melihat” tak semanya sama dengan menangkap bentuk dan warna dengan sensor mata. Barangkali Anda pernah mendengar legenda dewa pedang Jepang bernama Zatoichi, seorang samurai buta. Dikisahkan Zatoichi selalu menang menghadapi musuh macam apapun, ia membaca gerak musuhnya dengan mendegarkan langkah-langkah kaki musuhnya, ia bertahan, mengelak, menyerang, dan menaklukkan musuh-musuhnya tanpa melihat! Ia menatap dunia tanpa mata. Dari Zatoichi kita belajar hal penting: bahwa buta bukan berarti tak bisa melihat. Sebab esensi dari melihat adalah menangkap realitas sekitar dan merefleksikannya kedalam diri menjadi semacam guide atau reference untuk menentukan tindakan yang akan dilakukan—keputusan yang akan diambil. Dan mendengar? Rasanya sama saja, mendengar bukan soal memiliki indera pendengaran atau tidak.
Kali ini saya belajar dari Gwendolyne, seorang gadis tunarungu yang menjadi tokoh utama dalam buku I Can (not) Hear (GagasMedia, 2009). Darinya saya belajar bahwa mendengar(kan) tak sama dengan menangkap suara-suara, mendengar(kan) adalah menangkap apa yang ada di balik suara. “Demi keselamatan terbang, kencangkan sabuk pengaman Anda!” Bukankah semua orang mendengar suara itu setiap kali akan take-off dari bandara? Tapi apakah semua orang tergerak untuk mengencangkan sabuk pengamannya untuk keselamatannya selama berada dalam pesawat? Esensi terdalam dari mendengar(kan) adalah menangkap “yang-di-balik-suara”. Dan Gwen mengajari saya tentang itu.
Tentang mendengarkan, apakah yang sebenarnya kita ketahui?
Mommy-nya Gwen pernah dibuat frustasi dalam menuntun Gwen menuju dunia-mendengar. Sebab sebelumnya Mommy hanya berpikir bahwa mendengar(kan) adalah menangkap suara-suara. Mommy pada awalnya sealalu mengasihani Gwen yang menurutnya tak bisa mendengar(kan) suara-suara—bahkan suaranya. Ibaratnya bahkan jika ia berdiri di samping pesawat terbang yang akan lepas landas, Gwen tak akan mendengar suara apa pun. Baginya, dengan kondisi seperti itu Gwen sudah pasti memiliki hambatan belajar dari lingkungan di sekelilingnya dan tidak akan bisa berbicara seperti anak normal. Sampai-sampai Gwen harus diberi cochlear implant, semacam “chip mendengar” yang ditanam di telinga kanannya agar ia bisa menangkap suara-suara. Tapi Gwen tetap sulit mendengar(kan) suara-suara. Chip itu tak serta-merta membantu Gwen untuk mendengar.
Di sinilah kisah itu di mulai. Tentang Mommy yang berjuang membantu Gwen mendengar dan berbicara, tentang Gwen yang berusaha mendengar dan berbicara. Tentang dua orang ibu dan anak yang berjuang menuju dunia-mendengar dengan penuh cinta dan kasih sayang. Tentu saja, membawa Gwen menuju dunia-mendengar bukan perkara mudah. Bagi Mommy, butuh perjuangan keras dan panjang bahkan hanya untuk membuat Gwen bisa mendengar kata “Mommy” dan berhasil mengucapkannya lagi dengan benar. Mommy mengulanginya beratus-ratus kali, bahkan mungkin beribu-ribu kali, dengan penuh kesabaran dan cinta, hingga akhirnya suatu hari Gwen kecil berhasil mengucapkan kata “Mommy” dengan baik, “Maa… mii” katanya terbata-bata setelah sebelumnya terus mencoba dengan ‘e-i’, ‘i-i’, ‘a-i’, ‘ma-i’, ‘a-mi’ sampai akhirnya ‘ma-mi’.
Selesai satu kata diajarkan, jutaan kata lain menanti. Tapi Mommy tak pernah menyerah untuk menuntun Gwen menuju dunia-mendengar. Dengan harapan di dada, Mommy ingin membawanya pergi ke dunia-mendengar. Mommy ingin Gwen seperti laiknya manusia tanpa gangguan pendengaran. Dan semustahil apa pun itu kedengarannya, Mommy tak pernah kenal kata menyerah.
Sebagai sebuah memoar yang diangkat dari kisah nyata, I Can (not) Hear menyajikan kisah indah sekaligus menyentuh yang mengajari kita dari dua sisi sekaligus. Sisi pertama tentang seorang ibu yang tak pernah menyerah dan penuh cinta menuntun anaknya yang tunarungu menuju dunia-mendengar tadi—agar kelak ia bisa tumbuh seperti anak-anak normal lainnya—perjuangan cinta seorang ibu yang sangat menyentuh sekaligus menggetarkan. Kedua, tentang anak itu sendiri, Gwendolyne, yang mengajari kita bahwa mendengar(kan) adalah bukan tentang menangkap sauar-suara, tapi lebih dari itu, mendengarkan adalah menangkap sesuatu-di-balik-suara—sesuatu yang kadang-kadang tak bisa benar-benar ditangkap bahkan oleh mereka yang mampu mendengar suara-suara secara sempurna.
Setiap hari kita mendengar suara-suara, mendengarkan ajaran demi ajaran, pelajaran demi pelajaran, hikmah demi hikmah—tapi kita juga sering kali gagap menangkap hal-hal penting di balik suara-suara. Suara adalah bentuk lain dari cinta dan kasih sayang Tuhan, kata seorang Sufi, tapi bukankah kita lebih sering gagal menangkap “yang-di-balik-suara” (cinta dan kasih Tuhan tadi) sebagai hal penting yang seharusnya kita tangkap. Barangkali Gwen benar, suara hanyalah medium bagi cinta. Telinga hanyalah antena untuk menangkap cinta yang dikirim pemilik hidup agar maknanya menjadi pijar yang membuat hidup kita bercahaya. Dengan keterbatasan pendengarannya, Gwen tetap bisa menangkap cinta dari balik suara-suara Mommy yang samar-samar—dari hidup.
Kadang-kadang saya berpikir, betapa bodohnya kita yang mampu mendengar(kan) suara-suara dengan sempurna, tetapi selalu gagal menangkap hikmah, pelajaran, cinta dari balik suara-suara. Rasanya kita harus belajar pada Gwen dan semua orang yang mendengar(kan) seperti caranya mendengar(kan) cinta—mendengar(kan) hidup.
Tentang mendengarkan, apakah yang sebenarnya kita ketahui?
Paul Tillich, seorang teolog dan filsuf kenamaan asal Amerika pernah berkata, the first duty of love is to listen: ibu yang mendengarkan anaknya, anak yang mendengarkan orang tuanya, pasangan yang saling mendengarkan, tuhan yang mendengarkan doa-doa umatnya, manusia yang mendengarkan pesan dan cinta Tuhannya. Pertama-tama, mencintai adalah tentang mendengarkan.
Akhirnya, mari kita menuju dunia-mendengar. Dan pertama-tama, I Can (not) Hear adalah buku yang saya rekomendasikan.
Senin, 31 Agustus 2009
Review I Can (not) Hear by Fahd Djibran
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar