Senin, 31 Agustus 2009

Yang Menyentuh dari I Can (Not) Hear Part III

Ruangan itu sangat luas dan tak banyak perabot di dalamnya. Di dalam ruangan itu ada dua ruangan yang disekat dengan curtain. Satu ruangan berisi ranjang pasien dan di ruangan satunya lagi ada mesin-mesin dan peralatan yang kelihatan sangat rumit. Setelah Gwen dibaringkan di ranjang pasien, Dennis mendekati ranjang Gwen sambil mendorong mesin dengan kabel-kabel. Dennis lalu mangambil koin dan menggosok-gosokkannya di dahi Gwen. Saya sempat gusar melihatnya.

“Kenapa dahi anak saya mesti digosok dengan koin sampai merah begitu? Itu kan sakit?”
“Oh, ini supaya tempelan kabelnya bisa melekat dengan sempurna untuk hasil yang maksimal,” jawab Denis santai.

Saya hanya bisa menelan ludah dan pasrah. Setelah itu dengan cekatan dia menempelkan kabel-kabel di kepala Gwen. Satu di dahi bagian depan, dua kabel dilekatkan masing-masing di tulang mastoid (di belakang telinga) kiri dan kanan, sementara satu lagi dilekatkan di tulang pipi sebagai grounding.

Gwen terbaring dengan kepala penuh dengan kabel. Tubuhnya yang kecil jadi terlihat begitu rapuh dalam keadaan tak sadar seperti itu. Pandangan saya beradu dengan pandangan Mama. Di matanya saya menemukan betapa ia terluka menyaksikan cucunya mesti melalui serangkaian tes panjang dan melelahkan di usia yang masih sangat muda.
Dari layar monitor 10 inch kami melihat grafik yang bergerak naik turun.

Kami menunggu jalannya tes pendengaran tersebut Di tengah tes, Mama sempat berkomentar, “Tuh ada kok, ada responnya. Lihat di monitor, ada gerakan naik-turun.”
Saya mengangguk tanpa memberi komentar. Pikiran saya seperti kosong. Mata saya tak putus mengamati grafik pada monitor meskipun tak mengerti artinya. Kelihatannya grafik itu memang bergerak naik turun. Mungkin Mama benar.

Setelah tesnya selesai, Dennis menunjukkan grafiknya kepada saya sambil menjelaskan bahwa dari hasil tes ABR. Grafik itu hanyalah berupa garis naik turun seperti rumput yang saya pun tak mengerti membacanya.

“Gwen tidak menunjukkan respon terhadap suara sampai yang kerasnya 100 decibel,” ujar Dennis.
Saya tidak mengerti apa yang dia maksudkan.
“Tapi ini kan grafiknya naik-turun, berarti otaknya respon saat mendengarkan bunyi yang di berikan, bukankah begitu?”
“Grafik ini naik-turunnya tidak signifikan dan agak mendatar,” sahut Dennis. “Artinya otaknya tidak merespon terhadap suara. Berdasarkan tes ini, Gwen mengalami gangguan pendengaran berat,” ujarnya.

Saya tak bisa berpikir. Kalimat-kalimat yang keluar dari mulutnya seperti tidak mampu saya cerna. “Apa sih artinya 100 decibel?”
“Itu artinya saat suara yang kencangnya 100 decibel dibunyikan, Gwen belum mendengar suara tersebut. Jadi kalau pun Gwen berdiri di samping pesawat terbang yang akan lepas landas, dia belum mendengar suara tersebut, karena dia tidak mempunyai sisa pendengaran bahkan sampai 100 decibel.”

Saya merasakan hawa dingin mulai merambati ujung kaki dan tangan saya.
“Kalau dia tidak mendengar suara 100 decibel, di decibel berapa dia bisa mendengar?“
“Well, pada tes hari ini, saya tidak mencoba di atas 100 db karena itu level maksimum suara keras yang bisa dikeluarkan mesin ini,” ujar Dennis.
Saya terdiam. Jadi sampai suara paling keras pun Gwen tak bisa mendengar?
“Tapi ada tipe tes lain yang bisa mencoba di atas 100 decibel dan bahkan bisa mengetes pendengaran di setiap frekuensi secara lebih spesifik. Namanya tes SSEP. Kalau Anda berminat….”

Kata-kata selanjutnya sama sekali tak saya dengarkan. Suaranya hanya terdengar seperti dengung lebah. Pikiran saya kusut. Yang ada di kepala saya hanyalah, Oh Tuhan, mesti berapa banyak tes lagi yang harus dilakukan? Kapankah mempi buruk ini akan berakhir?

To be continued...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar